AMARAH massa meledak di jalanan Kathmandu. Beberapa pejabat publik diserang, fasilitas umum dibakar, dan ibu kota Nepal lumpuh total. Di permukaan, ini adalah potret klasik dari sebuah gejolak politik. Namun, jika ditelisik lebih dalam, insiden ini adalah cermin retak yang merefleksikan bahaya dari sebuah bom waktu: kekuasaan yang secara sistematis memelihara kebodohan publik. Sebuah bom waktu yang sama, yang mungkin kini berdetak di bawah kesadaran bangsa Indonesia.

Untuk memahami bagaimana bom waktu ini dirakit, perlu terlebih dahulu dibedah arsitektur kekuasaan yang bekerja di baliknya. Siapa sesungguhnya penguasa?

Jawaban lumrah akan tertuju pada Istana dan jajaran kabinetnya. Namun, realitas sistem ketatanegaraan jauh lebih kompleks.

Di luar lingkar eksekutif, ada pusat kekuasaan lain yang tak kalah menentukan. Dalam kerangka trias politica, DPR bukan sekadar representasi rakyat, melainkan pemegang kedaulatan legislatif yang merancang undang-undang, menyetujui anggaran, hingga mengawasi pemerintah. Dari sinilah sumber masalah dapat mulai dilacak.

Akar masalahnya dapat ditelusuri pada satu penyakit kronis: biaya politik yang luar biasa besar. Untuk merebut dan mempertahankan kursi kekuasaan, seorang politisi terperosok dalam sebuah sistem yang menuntut modal finansial yang fantastis.

Konsekuensinya fatal. Politik tidak lagi menjadi arena adu gagasan, melainkan pertarungan para pemilik modal. Lahirlah sebuah lingkaran setan. Utang budi kepada para sponsor dan dorongan untuk “balik modal” secara alamiah menciptakan kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara apa pun. Fungsi legislasi bisa ditransaksikan, alokasi anggaran bisa dinegosiasikan, dan pengawasan bisa dilemahkan demi kepentingan segelintir elite.

Mesin kekuasaan ini perlu terus berputar, dan pelumas terbaiknya adalah publik yang tidak banyak bertanya, tidak banyak menuntut, dan tidak banyak tahu—atau dengan kata lain, rakyat yang sengaja dibiarkan bodoh.

Bagaimana cara paling efektif untuk memastikan mesin kekuasaan ini berjalan tanpa perlawanan berarti? Jawabannya adalah dengan memelihara ekosistem di mana kebodohan—atau lebih halusnya, keterbelakangan kritis—dapat tumbuh subur.

Fenomena ini dapat dianalisis menggunakan berbagai lensa teoretis. Filsuf pendidikan Paulo Freire, misalnya, mengingatkan pada ironi “pendidikan gaya bank”, di mana sekolah menjadi tempat “menabung” informasi, bukan ruang untuk berpikir kritis. Sistem yang terobsesi pada hafalan demi kelulusan ujian standar secara efektif mencetak generasi yang patuh, bukan generasi yang berani mempertanyakan status quo. Institusi yang seharusnya membebaskan pikiran, justru menjadi tempat pertama di mana nalar kritis dipasung.

Di luar gerbang sekolah, masyarakat disambut oleh apa yang disebut para pemikir Mazhab Frankfurt sebagai “Industri Budaya”. Lanskap media dan hiburan hari ini adalah wujud nyata dari teori tersebut. Tayangan televisi, sinema populer, hingga konten media sosial yang viral lebih banyak menyajikan eskapisme dangkal. Publik dicekoki hiburan yang memicu sensasi sesaat, bukan konten yang mengasah nurani dan akal sehat.

Perhatian publik secara sistematis dialihkan dari isu-isu krusial ke urusan remeh-temeh. Kombinasi dari ruang kelas yang memasung nalar dan ruang publik yang dibanjiri distraksi inilah yang membentuk arsitektur kebodohan sistemis tersebut.

Dalam kondisi stabil, ekosistem kebodohan ini “hanya” mengakibatkan apatisme dan lambatnya kemajuan bangsa. Namun, dalam situasi krisis, ia adalah tumpukan jerami kering yang menanti percikan api. Seperti yang tersaji di Nepal, percikan api itu adalah krisis ekonomi yang bertemu dengan krisis kepercayaan.

Saat harga meroket dan perut lapar, efek bius dari industri hiburan tak lagi mempan. Masyarakat yang dibiarkan tumpul daya nalarnya akan terbangun dalam amarah yang buta. Tanpa terbiasa menyalurkan aspirasi secara terstruktur, pilihan ekspresi mereka menjadi terbatas pada letupan emosi purba: mencari kambing hitam, menyalahkan minoritas, dan melampiaskan frustrasi melalui anarkisme.

Luka sejarah dari Tragedi Mei 1998 di Indonesia seharusnya menjadi pengingat abadi akan bahaya ini. Peristiwa tersebut menunjukkan betapa destruktifnya ketika frustrasi ekonomi massa bertemu dengan provokasi di tengah masyarakat yang kesadaran kritisnya tidak merata.

Pada akhirnya, harus ditegaskan bahwa memelihara kebodohan publik bukanlah sebuah kelalaian, melainkan sebuah strategi kekuasaan yang menguntungkan para elite dan oligarki. Merekalah arsitek utama yang paling bertanggung jawab atas sistem yang berjalan saat ini. Dalam situasi seperti ini, menunggu kesadaran atau perubahan dari pihak yang diuntungkan oleh status quo adalah sebuah kesia-siaan.

Karena itu, perlawanan terhadap pembodohan sistematis ini harus dimulai dari akar rumput. Menjinakkan bom waktu ini menjadi tanggung jawab setiap warga negara yang menginginkan masa depan lebih baik bagi negerinya.

Dimulai dari memilih untuk mengonsumsi informasi yang sehat, menolak tayangan yang merendahkan akal sehat, mendidik generasi muda untuk berani bertanya, serta terlibat aktif dalam percakapan publik yang penting. Sebab dalam sebuah demokrasi yang terus-menerus terancam, membangun kecerdasan kolektif warganya bukanlah lagi sekadar pilihan. Ia adalah tindakan perlawanan politik yang paling fundamental.

Penulis: Sofian Junaidi Anom, pengurus LTN PBNU
Sumber: NU Online