Cahaya memancar di tengah awan hitam. Foto: Liu JiaWei/Unsplas
Di TENGAH hiruk pikuk politik dan gejolak sosial hari ini, ketika isu keadilan, kesewenang-wenangan, dan integritas penguasa menjadi sorotan tajam, sejatinya kita sedang mencari kompas moral. Rakyat merindukan sosok pemimpin yang bukan hanya pandai pencitraan, tetapi juga teguh dalam mengemban amanah. Namun, apa standar tertinggi kepemimpinan yang sesunggihnya?
Jauh sebelum era modern, seorang ulama besar telah merumuskan panduan abadi untuk para pemegang kekuasaan. Beliau adalah Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali (505 H). Melalui karyanya, At-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk, Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa kekuasaan adalah nikmat sekaligus ujian terberat dari Allah SWT.
Seorang pejabat atau pemimpin bukan hanya bertanggung jawab di hadapan rakyat, tetapi yang utama, di hadapan Rabbul ‘Alamin. Kegagalan dalam amanah ini, tegas Al-Ghazali, bisa menjerumuskan pada kesengsaraan abadi, bahkan jurang kekufuran (ingkar nikmat).
Lantas, bagaimana seorang pemimpin dapat menunaikan amanah ini dengan sempurna dan meraih keberkahan? Berikut adalah 10 Nasihat Utama Imam Al-Ghazali bagi para pemegang jabatan agar kepemimpinan mereka tegak di atas pilar keadilan dan syariat:
Kekuasaan adalah amanat suci dari Allah SWT. Pemimpin yang menjalankan tugasnya dengan adil—menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, tanpa diskriminasi—akan memanen kebahagiaan abadi di akhirat.
Sebaliknya, pemimpin yang berbuat zalim dan mengkhianati amanah ini, akan terjerumus dalam kesengsaraan yang berujung pada ancaman kekufuran (ingkar terhadap nikmat dan tanggung jawab).
Seorang pejabat wajib senantiasa membuka hati dan telinga terhadap nasihat dari ulama yang lurus (ulama al-haq) dan jauh dari cinta dunia.
Ulama yang sejati berfungsi sebagai penasihat tulus yang mengingatkan jalan syariat. Ini adalah pembeda mutlak dari ulama su’ (ulama jahat) yang hanya mendekati kekuasaan demi meraih keuntungan dan fasilitas pribadi.
Kebijakan dan keadilan seorang pemimpin akan tercermin penuh dalam kinerja aparat dan bawahannya. Oleh karena itu, pemimpin harus selektif dalam memilih pembantu serta tegas dalam mengawasi mereka. Kelalaian atau kezaliman bawahan tetap menjadi tanggung jawab pemimpin utama di hadapan Allah dan rakyat.
Jabatan bukanlah hak istimewa pribadi untuk disombongkan, apalagi dijadikan alat untuk menindas rakyat. Seorang pejabat wajib menanamkan sifat rendah hati, menyadari bahwa kedudukannya adalah amanat dari rakyat (dan dari Allah), bukan warisan pribadi.
Pemimpin yang ideal adalah perpanjangan tangan dan perwakilan sejati dari rakyatnya. Jika ia benar-benar menempatkan dirinya sebagai bagian dari rakyat, ia tidak akan pernah rela melihat rakyatnya menderita, sebagaimana ia tidak rela dirinya sendiri ditimpa penderitaan. Ini adalah manifestasi empati kepemimpinan.
Kebutuhan rakyat harus menjadi prioritas utama pemimpin. Menurut Al-Ghazali, mengurus kebutuhan rakyat bahkan lebih utama daripada melakukan ibadah sunnah. Mengabaikan urusan rakyat demi kesibukan pribadi atau perkara kecil adalah bentuk pengkhianatan nyata terhadap amanat kepemimpinan.
Pemimpin haruslah hidup sederhana (zuhud) dan tidak memamerkan kemewahan atau kekayaan di hadapan rakyat. Imam Al-Ghazali menekankan, keadilan sejati tidak akan lahir tanpa kesederhanaan. Pakaian mewah, makanan mahal, dan hiruk pikuk kemewahan tidak boleh menjadi kesibukan utama seorang pejabat yang mengemban tugas umat.
Kritik dari rakyat adalah mekanisme pengawasan yang sah dalam Islam. Pemimpin harus menanggapi kritik tersebut dengan kebijaksanaan dan penuh kelembutan, bukan dengan amarah atau kekerasan.
Rasulullah SAW telah mengingatkan, pemimpin yang tidak bersikap lembut (rahmah) terhadap rakyatnya, kelak Allah pun tidak akan bersikap lembut kepadanya di Hari Kiamat.
Kritik atau temuan masalah wajib ditindaklanjuti dengan perbaikan nyata dan konkret. Setiap pembaruan kebijakan atau tindakan pejabat harus berlandaskan pada syariat Islam (mashlahah mursalah) dan diarahkan murni untuk memenuhi kebutuhan serta kemaslahatan rakyat.
Seorang pejabat tidak boleh membuat keputusan atau kebijakan yang secara jelas bertentangan dengan syariat, meskipun hal tersebut sesuai dengan keinginan atau vote sebagian besar rakyat. Segala sesuatu yang menyelisihi hukum Allah (syariat) adalah batil dan hanya akan menjerumuskan kepemimpinan dan negara pada kebinasaan.
Nasihat para ulama kepada pemimpin adalah perwujudan kasih sayang (cinta) sekaligus tanggung jawab moral terhadap keselamatan umat dan negara. Pemimpin yang bersedia mendengarkan nasihat lurus akan lebih mudah menjaga integritas, menegakkan keadilan, dan mengutamakan kepentingan umat.
Pada akhirnya, kepemimpinan bukanlah sekadar urusan politik, kekuasaan, dan popularitas, melainkan sebuah jalan panjang menuju keberkahan di dunia dan pertanggungjawaban abadi di hadapan Allah SWT.
Pewarta: Hendra Lianor
MediaKalsel – Laga penuh drama dalam game dan adu taktik tersaji di hari pertama MPL…
Martapura, MediaKalsel – Pengangkatan 1.664 tenaga honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh…
Martapura, MediaKalsel – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banjar secara resmi mengangkat 1.664 tenaga honorer menjadi Pegawai…
Banjarbaru, MediaKalsel – Seorang pria berinisial M (70) ditemukan tewas di dalam parit depan PT Sucofindo…
MediaKalsel - Alter Ego memulangkan Navi (Natus Vincere) dengan skor 3:1 Best of 5 dalam…
Martapura, MediaKalsel – Ketua Dewan Penasehat Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Kabupaten Banjar, H. Mansyur, mendorong…